Sejarah Singkat Kabupaten Dairi
Kamu tahu tidak bagaimana sejarah singkat berdirinya bumi “Sulang Silima” atau Kabupaten Dairi yang kita cintai ini? Kita sebagai generasi penerus diharapkan mampu mengingat dan mengetahui bagaimana sebenarnya sejarah singkat berdirinya sebuah kabupaten bumi Sulang Silima tempat kita berpijak saat ini. Untuk lebih lanjut, mari kita simak bersama-sama:
*Seri Pertama
Tahukah kamu pemerintahan di Dairi telah ada jauh sebelum kedatangan penjajahan Belanda, walaupun pada saat itu belum dikenal sebutan wilayah/Daerah otonomi tetapi kehadiran sebuah pemerintahan pada zaman tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dengan adanya pengakuan terhadap Raja-raja Adat. Pemerintahan pada masa itu dikendalikan oleh Raja Ekutan/Takal Aur/Kampung/Suak dan Pertaki sebagai raja-raja adat merangkap sebagai kepala pemerintahan.
Adapun struktur Pemerintahan masa itu diuraikan sebagai berikut:
a. Raja Ekuten, sebagai pemimpin satu wilayah (suak) atau yang terdiri dari beberapa suku/kuta/kampong Raja Ekuten disebut juga Takal Aur, yang merupakan Kepala Negeri.
b. Pertaki, sebagai pemimpin satu Kampung, setingkat dibawah Raja Ekuten.
c. Sulang Silima, sebagai pembantu pertaki pada setiap kuta (Kampung), yang terdiri dari: Perisang-isang, Perekur-ekur, Pertulan tengah, Perpunca Ndiadep dan, Perbetekken.
Selanjutnya, menurut berbagai literatur sejarah bahwa wilayah Dairi sangat luas dan pernah jaya dimasa lalu. Sesuai dengan Struktur Organisasi Pemerintahan tersebut di atas, maka wilayah Dairi dibagi atas 5 (lima) wilayah (suak/aur) yaitu: 1. Suak/Aur SIMSIM, meliputi wilayah: Salak, Kerajaan, Siempat Rube, Sitellu Tali Urang Jehe, Sitellu Tali Urang Julu dan Manik. 2. Suak/Aur PEGAGAN dan Kampung Karo, meliputi wilayah : Silalahi, Paropo, Tongging, Pegagan Jehe dan Tanah Pinem. 3. Suak/Aur KEPPAS, meliputi wilayah Sitellu Nempu, Silima Pungga-Pungga, Lae Luhung, Parbuluan. 4 Suak/Aur BOANG, meliputi wilayah: Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, Belenggen, Gelombang Runding dan Singkil (saat ini Wilayah Aceh) dan, 5 Suak/Aur KLASEN, meliputi wilayah : Sienem koden, Manduamas dan Barus.
Masa Penjajahan Belanda
Selanjutnya, pada masa perjuangan melawan penjajahan Belanda, sejarah mencatat bahwa Raja Sisingamangaraja XII semasa hidupnya cukup lama berjuang di Daerah Dairi, karena wilayah Bakkara dan wilayah Toba pada umumnya telah dibakar habis dan dikuasai oleh Belanda. Kondisi tersebut tidak memungkinkan lagi untuk bertahan dan meneruskan perjuangannya, sehingga beliau hijrah ke Dairi, beliau wafat pada tanggal 17 Juni 1907 di Ambalo Sienem Koden yang ditembak atas perintah komandan Batalion Marsuse Belanda, Kapten Cristofel. Pada masa penjajahan Belanda yang terkenal dengan politik Devide Et Impera, maka nilai-nilai, pola dan struktur Pemerintahan di Dairi mengalami perubahan yang sangat cepat dengan mengacu pada system dan pembagian wilayah Kerajaan Belanda, maka Dairi saat ini ditetapkan pada suatu Afdeling yang dipimpin seorang Cotroleur berkebangsaan Belanda dan dibantu oleh seorang Demang dari penduduk Pribumi/Bumi Putra. Kedua pejabat tersebut dinamai Controleur Der Dairi Landen dan Demang Der Dairi Landen.
Pemerintah Dairi Landen adalah sebagian dari wilayah Pemerintahan Afdeling Batak Landen yang dipimpin Asisten Residen Batak Landen yang berpusat di Tarutung. Sistem ini berlaku sejak dimulainya perjuangan pahlawan Raja Sisingamangaraja XII dan berlaku juga sampai penyerahan Belanda atas penduduk Nippon (Jepang) pada tahun 1942.
Masa Pemerintahan Penduduk Jepang
Setelah jatuhnya Hindia Belanda atas pendudukan Dai Nippon, maka pemerintahan Belanda digantikan oleh Militerisme Jepang. Secara umum pemerintahan Bala Tentara Jepang membagi wilayah Indonesia dalam 3 bagian yaitu : 1. Daerah yang meliputi Jawa, berada di bawah kekuasaan Angkatan Darat yang berkedudukan di Jakarta; 2. Daerah yang meliputi pulau Sumatera, berada di bawah kekuasaan Angkatan Darat yang berkedudukan di Tebing Tinggi: 3. Daerah daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di Makassar.
Pada masa itu pemerintahan Jepang di Dairi memerintah cukup kejam dengan menerapkan kerja paksa membuka jalan Sidikalang sepanjang lebih kurang 65 km, membayar upeti dan para pemuda dipaksa Heiho dan Giugun untuk bertempur melawan Militer Sekutu. Pada masa pemerintahan Jepang pada dasarnya tidak terdapat perubahan prisipil dalam susunan Pemerintahan di Dairi. Karena tidak berubah susunan/struktur Pemerintahan di Dairi, tetapi mengganti jabatan lama ada.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Setelah kemerdekaan diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, maka pasal 18 UUD 1945 menghendaki dibentuknya Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, sehingga sebelum Undang-Undang tersebut dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam rapatnya tanggal 19 Agustus 1945 menetapkan Daerah Republik Indonesia untuk sementara dibagi atas 8 (delapan) Propinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur. Daerah Propinsi dibagi dalam Keresidenan yang dikepalai seorang Residen. Gubernur dan Residen dibantu ileh Komite Nasional Daerah.
1. Berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1945
Mengingat keadaan pada masa penjajahan, Belanda masih ingin menjajah kembali di Indonesia, sementara Undang-Undang belum dibentuk, maka dikeluarkanlah Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 tentang pemberian kekuasaan legislative kepada Komite Nasional Indonesia Pusat, untuk mempertegas kedudukannya yang pada waktu itu dianggap sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. Sehubungan dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tersebut maka kedudukan Komite Nasional Daerah pun perlu ditegaskan. Untuk keperluan inilah maka dikeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1945 tentang kedudukan Komite Nasional Daerah.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945, maka di Dairi dibentuk Komite Nasional Daerah untuk mengatur Pemerintah dalam mengisi Kemerdekaan dengan susunan sebagai berikut, Ketua Umum Jonathan Ompu Tording Sitohang, Ketua I Djauli Manik, Ketua II Noeh Hasibuan, Ketua III Raja Elias Ujung, Sekretaris I Tengku Lahuami, Sekretaris II Gr. Gindo Muhammad Arifin, Bendahara I Mula Batubara dan, bendahara II St. Stepanus Sianturi.
Selanjutnya, Pada masa Agresi Militer I, yakni pada tanggal 6 Juli 1947 Belanda telah menguasai Sumatera Timur sehingga masyarakat Dairi yang berada di sana mengungsi kembali ke Dairi. Untuk menyelenggarakan pemerintahan serta menghadapi perang melawan Agresi Belanda tersebut, maka Residen Tapanuli saat itu Dr. Ferdinand Lumbantobing, selaku Gubernur Militer Sumatera Timur dan Tapanuli, dengan suratnya Nomor 1256 tanggal 12 September 1947, berlaku mulai tanggal 1 Oktober 1947, menetapkan Keresidenan Tapanuli menjadi 4 (empat) Kabupaten yaitu: Kabupaten Dairi, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang, dan Kabupaten Silindung. Sehingga atas keluarnya surat Dr. Ferdinand Lumbantobing tersebut, 1 Oktober 1947 ditetapkan sebagai hari bersejarah dan “Hari Jadi Kabupaten Dairi” dan hal ini sudah sesuai dengan kesepakatan Pemerintah dan Masyarakat pada saat itu dan hal itu juga sudah melalui keputusan DPRD Kab. Dairi II Nomor 4/K-DPRD/1997 tanggal 26 April 1977.
Selanjutnya, dengan ditetapkannya Dairi menjadi Kabupaten, maka berdasarkan surat Residen Tapanuli tersebut, ditetapkanlah “Paulus Manurung” sebagai Bupati pertama di Kabupaten Dairi yang berkedudukan di Sidikalang. (Ber)
# Untuk pembahasan selanjutnya mengenai sejarah singkat Kabupaten Dairi akan dibahas pada seri kedua. Terimakasih
Sumber: Sekretariat Daerah Bagian Tata Pemerintahan